sereinesse

Jujur saja semenjak kehadirannya di sini Sage masih tak paham dengan konsep perhitungan waktu dalam sehari di Dimensi ini, entah satu hari sama dengan dua puluh empat jam seperti di Bumi atau malah satu hari ternyata dua kali lebih cepat ,  Sage tak tahu, dan ia memilih untuk tak ambil pusing, toh perhitungan waktu di ponselnya otomatis menyesuaikan setelah dipasang panel hologram oleh Onu di hari pertamanya ia tiba.

Menurut jam di ponselnya, ini sudah tepat enam jam yang lalu setelah mereka tiba di Ibukota Dimensi Flos. 

Ini di luar dugaan Sage. Dalam bayangannya, Ibukota Dimensi Flos bisa jadi berkali lipat lebih maju dan canggih teknologinya. Namun bayangan itu seketika buyar saat matanya tak melihat gedung-gedung apik dan alat-alat canggih di sana, melainkan hamparan kota yang luas dengan rumput hijau dan pepohonan hidup rapat menjulang tinggi mengelilingi Ibukota yang kata Onu empat kali lebih luas dari pada Kota Helianthus.

Jika gedung-gedung tinggi di Kota Helianthus terlapisi oleh material yang mengkilat mewah dan kompleks, maka bangunan-bangunan di Ibukota Dimensi Helianthus terdiri dari bahan kayu kokoh, rumah-rumah dengan halaman luas berjarak minimal sepuluh meter dari rumah lainnya, tertata rapi, tak sesak, dan tampak jauh lebih asri.

Kalau keadaannya tak seperti ini, Sage berani bertaruh demi apapun untuk tinggal di Ibukota Dimensi Flos, akan ia bawa Jungwon dan Wony kemari.

“Kok masih rame, ini nggak pada tidur?”

Ekspetasi Sage saat diajak Onu berkeliling sekitar penginapan setelah bangun dari lelapnya istirahat adalah keremangan dan kesunyian yang membungkus kota karena ini sudah menunjukan pukul satu dini hari, akan tetapi yang ia lihat justru sebaliknya.

Lampu jalanan dan lampu rumah-rumah yang temaram hangat masih menyala, anak-anak kecil tampak bermain di halaman rumah mereka, ibu-ibu sibuk berbincang demikian para remaja yang sedang dimabuk asmara pun tak melewatkan hangatnya malam itu dengan menghabiskan waktunya bersama tambatan hati di tepi danau yang memang banyak dikunjungi pasangan, seluruh warga antusias menyambut pagi tiba.

“Dari yang gue baca-baca, memang katanya sengaja nggak tidur. Kompetisinya full 24 jam sampai besok pagi, tuh, liat!”

Tempat penginapan mereka hanya berjarak seratus meter dari pusat Ibukota di mana kompetisi-kompetisi dari rangkaian acara Selebrasi Sejuta Bunga diadakan, gemerlap meriahnya lampu di sentral kota terlihat jelas dari sini.

“Mau ke tepi danau nggak?” Tawar Onu, menunjuk satu bangku panjang yang tersisa. Lantas dijawab anggukan oleh Sage.

Ramai, namun damai. Orang-orang di sana sangat menjaga kehormatan satu sama lain, tak berisik, tak mengganggu, beberapa orang sempat menyapa Onu dan Sage dengan ramah.

“Ini berarti SSB pertama lo, ya?” “Iya, lah? Kan dua puluh tahun sekali.” “Kasian amat. Kalau nggak ada gue pasti lo bisa have a fun, nggak perlu repot ngurusin gue buat pulang.”

Onu mendelik, “nggak gitu. Gue seneng kok ada lo.”

Sage terkekeh, lawan bicaranya semakin mendelik, bingung.

“Lo seneng karena ada gue atau seneng karena besok gue pulang?”

Sialnya, kepulangan Sage esok hari adalah topik yang paling Onu hindari saat ini, yang bersangkutan justru membawa topik itu. Namun dari perubahan raut wajah Onu, Sage bisa tahu jika nampaknya Onu enggan membahas soal itu.

“Kalau gue jawab seneng karena besok lo pulang, gimana?”

Kali ini Sage yang terdiam. “... Beneran?”

“Pertanyaan tolol.” Onu mendecih, ia merotasikan bola matanya. Tangan mereka yang tadinya saling bertautan dilepas Onu, bersedekap.

“Lah ngambek.”

“Lagian lo nyebeliiiin! Pengen gue ceburin ke danau, mau?!” Kedua mata Onu memelotot galak.

Yang dipelototi tertawa lepas, entah karena melihat wajah lucu Onu, atau ternyata karena ingin menutupi kekelabuan hatinya.

Sedangkan udara malam terasa semakin menusuk tulang, Sage ulurkan lengannya untuk merangkul pundak yang lebih rendah di sebelah kanannya, salurkan rasa hangat yang meremat hati.

“Nggak apa-apa, ya, gue pulang?” “Kalau gue larang, apa bisa buat lo tetep di sini?” “Lo yang gue ajak pulang.”

Satu sikutan mendarat di perut Sage, sang empu mengaduh. Onu menggerutu, si sagittarius satu ini semakin menjengkelkan saja. Tak bisa kah ia serius sedikit-

“Jadi gimana, nggak apa-apa, kan, gue pulang?''

Astaga.

“Iyaaaa, Sunghoon.” “Lo lebih suka manggil gue Sunghoon atau Sage, sih?”

Entah mendapat ide pertanyaan itu dari mana, Sage tak tahu. Di waktu tertentu Onu memanggilnya Sunghoon, di lain waktu ia memanggilnya Sage, suka-suka Onu saja.

“Nggak tahu. Sunghoon, nama yang lo sebut saat pertama kali kita kenal. Dan Sage, nama dari gue untuk lo. Dua-duanya gue suka.”

Onu melempar senyum. Manis, manis sekali.

“Kalau lo gue panggil Sunoo, boleh nggak?” “Lah sama aja cara nyebutnya, beda di huruf S. Lagian itu nama bikinan gue sendiri!” “Ya nggak apa-apa, lo bikin nama itu karena gue.” “Iya juga.” “You put a lot of effort into me.” “...” “Thank you.”


Dengan napas terengah, Sunghoon menghempaskan tubuhnya di atas sofa tua berdebu yang ada di sebelahnya, hal itu tentu saja membuat Sunghoon justru terbatuk karena debu yang mengepul dari sofa tua tersebut.

Ia baru saja selesai mengangkut tangga lipat yang tadi sempat digunakannya untuk mengganti lampu toilet kamar Wonyoung ke gudang belakang rumahnya.

Sunghoon mengedarkan pandangnya, lampu gudang yang temaram mambantu penglihatannya. Matanya menangkap sesuatu yang berpendar di atas meja dengan barang berserakan.

Tanpa ragu ia melangkahkan kakinya, mendekati meja. Sunghoon memincingkan mata, tangannya meraih benda kecil dan panjang (yang menurutnya berbentuk menyerupai pena) dengan titik cahaya berwarna hijau terang di ujungnya.

“Ini apaan?” batin Sunghoon, heran.

Rasa penasaran menyelimuti pikirannya, akhirnya ia membawa pena tersebut ke kamarnya. Sudah tiga puluh menit lamanya Sunghoon mengamati lamat-lamat benda tersebut, namun pena itu tetap membisu, cahaya hijau terang di ujungnya masih setia berpendar-pendar.

Sunghoon baru menyadari, ada tombol bulat di sisi ujung pena lainnya, tanpa berpikir dua kali, dipencetnya tombol itu.

Kesiur angin tiba-tiba muncul di kamarnya. Bukan, ini bukan angin dari penyejuk udara di kamarnya, pun bukan angin dari celah jendela ataupun ventilasi. Angin itu terasa sejuk, baunya mirip sekali dengan petrichor.

Setitik cahaya di pena itu berangsur meredup, berpindah pada ruang kosong di hadapan Sunghoon. Cahaya hijau cerah itu lantas melebar, membentuk sebuah lubang portal lingkaran transparan besar berdiameter setinggi tubuh Sunghoon.

Belum sempat Sunghoon mencerna apa yang terjadi, kesiur angin tersebut seolah mendorong tubuhnya masuk ke lubang tersebut, tubuhnya limbung, cahaya silau bagai menyelimuti dirinya hingga ia tak bisa membuka matanya.

Sunghoon tak menyadari jika pena pada genggamannya terjatuh, tertinggal dalam sepi di lantai marmer kamarnya.


Dugh.

Tubuh Sunghoon terasa remuk saat menyadari bahwa ia kini terkapar di atas rumput, di bawah rindang pohon. Rasanya ia seperti baru saja tergelinding dari tangga. Perlahan-lahan, matanya dibuka, seseorang dengan pakaian bernuansa coklat, bersurai merah muda, ditambah kulit yang secerah kristal, berdiri tepat di depannya.

Sosok itu membungkukkan tubuhnya untuk melihat wajah Sunghoon lebih jelas, tentu saja membuat Sunghoon terhenyak kaget.

“Lo siapa?!”

Si Rambut Merah Muda tampak mengernyitkan keningnya, lantas merogoh sakunya, mengeluarkan dua benda kecil berbentuk bulat dan pipih. Salah satunya ia tempelkan ke belakang telinganya, satunya lagi ia tempelkan pula pada belakang telinga Sunghoon, tanpa izin.

“Eh— Lo ngapain, sih? Ini apa?”

“Penerjemah. Nah, kalau gini kan sama-sama ngerti. Bahasa lo aneh soalnya.” Jelas Si Rambut Merah Muda, kini ia mengulurkan tangannya.

“Onu, panggil aja gue Onu.”

Uluran tangan Onu tak kunjung dibalas Sunghoon, membuat Onu menghela napas.

“Gue nggak jahat kok,” senyum tipis terulas di bibir Onu.

Dengan ragu, Sunghoon menjabat tangan bersih di hadapannya, ia tersenyum kaku, “Sunghoon.”

Onu mengangguk mengerti, kini Sunghoon sibuk mengamati sekelilingnya, gedung-gedung tampak tinggi menjulang, tidak seperti di kota tempat tinggalnya, di sini pepohonan hijau hampir sama banyaknya dengan gedung-gedung pencakar langit. Sunghoon tak melihat kemacetan di jalanan, bahkan kendaraan yang berlalu lalang pun bisa dihitung dengan jari. Semua tampak aneh, ini jelas-jelas bukan di kotanya, apalagi di kamarnya.

Lamunannya tersadar saat kakinya sengaja diinjak oleh seseorang. Bukan, bukan Onu yang menginjaknya, melainkan sosok lain bersurai merah ceri yang sedang menatapnya sinis.

“Siapa dia? Tinggalin aja kenapa sih? Ayo, Nu! Ntar keburu telat!” Si Rambut Merah Ceri menggerutu sambil mendorong tubuh Onu.

“Lo duluan aja. Nanti gue nyusul, Pyo.”

“Jangan macem-macem sama orang baru, kayaknya dia bukan berasal dari sini.” Bisikan sosok yang dipanggil dengan nama 'Pyo' tadi tetap terdengar di telinga Sunghoon, membuatnya memutar bola matanya.

Onu menangkap raut muka bingung dan kesal milik Sunghoon, ia meraih tangan Sunghoon tanpa aba-aba.

Plop!

Tubuh Sunghoon dibawa menghilang oleh Onu. Muncul-Hilang-Muncul-Hilang, beberapa kali sampai akhirnya tiba di sebuah ruangan kosong berukuran sedang.

Sunghoon baru sadar, bahwa semenit lalu ia dibawa ber-teleportasi dengan Onu.

“Disini dulu ya, lo aman kok disini. Ini kamar tamu di rumah gue, jangan kemana-mana sampai gue balik lagi ya. Serius, gue bukan orang jahat kok.” Onu menunjukan pose peace dengan senyum lebarnya.

“Bawa ponsel?” tanya Onu.

Sunghoon memeriksa sakunya, mengeluarkan benda pipih yang ditanyakan oleh Onu.

“Nah, sini pinjem bentar, nggak akan gue maling!” Onu mengambil ponsel Sunghoon, lantas menempelkan panel kecil di belakang ponsel milik Sunghoon, lalu mengembalikannya.

“Itu tadi panel hologram sinyal, sekaligus udah dimasukin nomor ponsel gue. Gue mau ke Akademi dulu, kalo ada apa-apa, bisa chat gue lewat ponsel lo, oke?”

Sejurus kemudian, Onu menghilang.

Menyisakan Sunghoon dengan banyak tanda tanya di kepalanya.


Highly recommended sambil dengerin DOWNPOUR Song by I.O.I


Dua pasang sepatu yang berhadapan di sebelah halte pemberhentian bus itu masih setia disana sejak lima belas menit lalu, setelah keduanya turun dari bus yang mereka tumpagi bersama, hingga kini keduanya harus berpisah di persimpangan jalan, menuju jalan rumah masing-masing.

Gerimis mulai turun, dua pasang mata mereka pun masih menatap nanar pada ujung sepatu masing-masing, tak ada satupun dari kedua pria itu- Sunoo dan Sunghoon- yang berani mengalihkan pandangannya dari sana, apalagi saling menatap.

Di kepala Sunghoon, terputar kembali rentetan kalimat panjang yang Sunoo ucapkan pada perdebatan terakhir mereka, dan berhasil membuatnya bungkam.

“Kak, Sunoo mohon... Lepasin Sunoo, ya? Kita nggak bisa lebih jauh lagi dari ini, karena dari awal, kita sama-sama tau kalau hubungan kita.. Memang salah. Ini yang bikin aku bertanya-tanya, kenapa harus kita, Kak? Kenapa kita dibuat saling mencinta kalau ternyata Tuhan dan semesta sama sekali nggak merestui? Tapi, seenggaknya, Kakak sempat dikasih waktu untuk bareng sama Sunoo selama 6 tahun ini, Kakak bahagia, kan?

Soalnya, sejak awal ketemu, aku bahagia banget, kita punya banyak kesamaan, salah satu kesamaan kita adalah... Kita sama-sama pria, yang kalau kata orang, hubungan kita melenceng dari hukum alam dan norma agama. Kita juga punya perbedaan, dan salah satu perbedaan itu adalah... Iman. Sunoo minta maaf ya, Kak? Sunoo rasa, udah cukup sampai disini aja, aku nggak mau ngambil Kakak dari Tuhan Kakak. Satu hal yang perlu Kakak tau, Sunoo masih sayang Kak Sunghoon.”

Suara Sunoo yang terngiang di kepalanya kini tergantikan oleh suara derasnya hujan yang mengguyur siang itu.

Ibu-ibu paruh baya yang berada di bangku halte sudah dua kali meneriaki dua pria yang masih bergeming dibawah air hujan untuk segera berteduh. Baik Sunghoon, maupun Sunoo, tak mengindahkan teguran itu, mereka membiarkan tubuhnya diguyur oleh dinginnya tangisan dari langit.

“Sunoo...” Sunghoon berucap lirih, lirih sekali, hingga mungkin semut semut yang berenang di kecipak genangan air hujan pun, tak mendengar lirihan parau itu.

Karena Sunoo tak kunjung memberi reaksi sekecil apapun, Sunghoon menegakkan kepalanya yang sedari tadi ia tahan untuk menunduk, matanya menatap kekasihnya yang basah kuyup, sama sepertinya. Dengan ragu, ia meraih tangan dingin Sunoo.

“Tangan kamu nggak pernah sedingin ini...”

Kecamuk badai yang melanda isi kepala dan hati Sunoo masih belum mereda, ia tidak sanggup untuk membalas atau sekedar merespon kalimat Sunghoon.

“Jangan sampai demam ya, karena setelah ini, aku nggak bisa jaga kamu lagi.”

Sunghoon menjeda kalimatnya untuk menghela napas dan tersenyum getir.

“Aku nggak bisa peluk kamu, nggak bisa suapin bubur hangat kesukaan kamu, nggak bisa bantu kamu minum obat kapsul, bahkan, untuk sekedar ketemu, aku nggak akan bisa, ya? Sekalipun aku nekat nyusul kamu ke luar kota, Mama kamu pasti bakal marah kalau lihat aku.”

Dengan bibir gemetar dan gigi bergemeletuk menahan dingin, Sunoo menarik kembali tangan yang masih setia Sunghoon genggam, lantas ia berucap lantang, memastikan suaranya bisa menembus tirai hujan, dan sampai pada telinga Sunghoon.

“Kak... Cukup.. Kalau Kak Sunghoon terus-terusan ngomong kayak gitu, justru bakal bikin kita makin susah untuk melepas satu sama lain.”

“Ya. Karena sejatinya, bukan itu yang kita mau.”

Sunoo tidak menanggapi, karena yang diucapkan Sunghoon, memang benar adanya.

Lagi-lagi, keheningan tak ada bosan-bosannya menyelimuti mereka. Yang lebih tua sibuk merangkai kata untuk diungkapkan (walau sebenarnya yang ingin ia lakukan sekarang adalah memeluk tubuh ringkih di depannya kemudian membawanya pulang dan bahagia bersama lagi), sedangkan yang lebih muda kembali menunduk, membiarkan air matanya yang sejak tadi mengalir, tertimpa oleh air hujan.

“Kita bodoh, ya.”

Celetuk Sunoo yang dengan segera memecahkan gelembung keheningan. Mata sayu mereka bertemu pandang. Dulu, setiap terjadi momen seperti ini, tak lebih dari 5 detik berpandangan, keduanya hanyut dalam tawa. Dan sekarang, tak ada lagi tawa yang berani meluap-luap walau kini sudah genap dua menit mereka berpandangan satu sama lain, sama-sama merasakan luka yang memancar dari kedua mata mereka.

“Kita, dua manusia egois” Sunghoon menimpali.

“Aku tahu,” Sunoo mendongak, menengadah pada langit, merasakan titik-titik air membombardir wajahnya, kemudian kembali menunduk.

“Jadi, kita.. Selesai?”

Sunghoon menggeleng ragu, “aku belum memutuskan untuk setuju, tentang ajakan ‘usai’mu, Sunoo.”

Dengan berat, Sunoo menghembuskan napas panjangnya. “Kak, aku tau, 6 tahun itu bukan waktu yang sebentar. 5 tahun lalu, setahun semenjak kita bertemu, aku dan Kakak, sama-sama terlanjur jatuh cinta pada rasa sakit, tapi... Kita justru memilih untuk menggenggam rasa sakit itu, menguburnya dalam-dalam, melupakan fakta bahwa hubungan kita... Salah. Dan sekarang, memang bukan waktu yang tepat untuk benar-benar berpisah, bukan kemauan kita untuk kembali pada jalan masing-masing, tapi karena kita harus, dipaksa oleh keadaan. Aku harap, Kakak paham, tolong lepasin Sunoo, ya?”

“Kamu mau mengulang kalimat yang sama itu untuk keberapa kalinya, Sunoo?”

“Sampai Kakak mau lepasin aku.”

“Tapi aku nggak bisa.”

Sunoo melangkah maju, ujung sepatunya bersentuhan dengan ujung sepatu milik Sunghoon, “aku boleh peluk nggak? Untuk terakhir kali?”

Tanpa menjawab pertanyaan Sunoo, Sunghoon langsung memeluk tubuh dingin itu. Dalam diam, Sunoo bisa merasakan detak jantung Sunghoon yang tenang dan menenangkan. Dalam diam pula, Sunghoon bisa merasakan sosok kecil dipelukannya itu terisak hebat.

Dalam pelukan itu, Sunghoon berbisik lirih.

“When this downpour finally stops, let’s see each other again, then we will smile, we will be together once more, and happy ever after. I promise.”

Read more...