Between Our Dimensions (1)


Dengan napas terengah, Sunghoon menghempaskan tubuhnya di atas sofa tua berdebu yang ada di sebelahnya, hal itu tentu saja membuat Sunghoon justru terbatuk karena debu yang mengepul dari sofa tua tersebut.

Ia baru saja selesai mengangkut tangga lipat yang tadi sempat digunakannya untuk mengganti lampu toilet kamar Wonyoung ke gudang belakang rumahnya.

Sunghoon mengedarkan pandangnya, lampu gudang yang temaram mambantu penglihatannya. Matanya menangkap sesuatu yang berpendar di atas meja dengan barang berserakan.

Tanpa ragu ia melangkahkan kakinya, mendekati meja. Sunghoon memincingkan mata, tangannya meraih benda kecil dan panjang (yang menurutnya berbentuk menyerupai pena) dengan titik cahaya berwarna hijau terang di ujungnya.

“Ini apaan?” batin Sunghoon, heran.

Rasa penasaran menyelimuti pikirannya, akhirnya ia membawa pena tersebut ke kamarnya. Sudah tiga puluh menit lamanya Sunghoon mengamati lamat-lamat benda tersebut, namun pena itu tetap membisu, cahaya hijau terang di ujungnya masih setia berpendar-pendar.

Sunghoon baru menyadari, ada tombol bulat di sisi ujung pena lainnya, tanpa berpikir dua kali, dipencetnya tombol itu.

Kesiur angin tiba-tiba muncul di kamarnya. Bukan, ini bukan angin dari penyejuk udara di kamarnya, pun bukan angin dari celah jendela ataupun ventilasi. Angin itu terasa sejuk, baunya mirip sekali dengan petrichor.

Setitik cahaya di pena itu berangsur meredup, berpindah pada ruang kosong di hadapan Sunghoon. Cahaya hijau cerah itu lantas melebar, membentuk sebuah lubang portal lingkaran transparan besar berdiameter setinggi tubuh Sunghoon.

Belum sempat Sunghoon mencerna apa yang terjadi, kesiur angin tersebut seolah mendorong tubuhnya masuk ke lubang tersebut, tubuhnya limbung, cahaya silau bagai menyelimuti dirinya hingga ia tak bisa membuka matanya.

Sunghoon tak menyadari jika pena pada genggamannya terjatuh, tertinggal dalam sepi di lantai marmer kamarnya.


Dugh.

Tubuh Sunghoon terasa remuk saat menyadari bahwa ia kini terkapar di atas rumput, di bawah rindang pohon. Rasanya ia seperti baru saja tergelinding dari tangga. Perlahan-lahan, matanya dibuka, seseorang dengan pakaian bernuansa coklat, bersurai merah muda, ditambah kulit yang secerah kristal, berdiri tepat di depannya.

Sosok itu membungkukkan tubuhnya untuk melihat wajah Sunghoon lebih jelas, tentu saja membuat Sunghoon terhenyak kaget.

“Lo siapa?!”

Si Rambut Merah Muda tampak mengernyitkan keningnya, lantas merogoh sakunya, mengeluarkan dua benda kecil berbentuk bulat dan pipih. Salah satunya ia tempelkan ke belakang telinganya, satunya lagi ia tempelkan pula pada belakang telinga Sunghoon, tanpa izin.

“Eh— Lo ngapain, sih? Ini apa?”

“Penerjemah. Nah, kalau gini kan sama-sama ngerti. Bahasa lo aneh soalnya.” Jelas Si Rambut Merah Muda, kini ia mengulurkan tangannya.

“Onu, panggil aja gue Onu.”

Uluran tangan Onu tak kunjung dibalas Sunghoon, membuat Onu menghela napas.

“Gue nggak jahat kok,” senyum tipis terulas di bibir Onu.

Dengan ragu, Sunghoon menjabat tangan bersih di hadapannya, ia tersenyum kaku, “Sunghoon.”

Onu mengangguk mengerti, kini Sunghoon sibuk mengamati sekelilingnya, gedung-gedung tampak tinggi menjulang, tidak seperti di kota tempat tinggalnya, di sini pepohonan hijau hampir sama banyaknya dengan gedung-gedung pencakar langit. Sunghoon tak melihat kemacetan di jalanan, bahkan kendaraan yang berlalu lalang pun bisa dihitung dengan jari. Semua tampak aneh, ini jelas-jelas bukan di kotanya, apalagi di kamarnya.

Lamunannya tersadar saat kakinya sengaja diinjak oleh seseorang. Bukan, bukan Onu yang menginjaknya, melainkan sosok lain bersurai merah ceri yang sedang menatapnya sinis.

“Siapa dia? Tinggalin aja kenapa sih? Ayo, Nu! Ntar keburu telat!” Si Rambut Merah Ceri menggerutu sambil mendorong tubuh Onu.

“Lo duluan aja. Nanti gue nyusul, Pyo.”

“Jangan macem-macem sama orang baru, kayaknya dia bukan berasal dari sini.” Bisikan sosok yang dipanggil dengan nama 'Pyo' tadi tetap terdengar di telinga Sunghoon, membuatnya memutar bola matanya.

Onu menangkap raut muka bingung dan kesal milik Sunghoon, ia meraih tangan Sunghoon tanpa aba-aba.

Plop!

Tubuh Sunghoon dibawa menghilang oleh Onu. Muncul-Hilang-Muncul-Hilang, beberapa kali sampai akhirnya tiba di sebuah ruangan kosong berukuran sedang.

Sunghoon baru sadar, bahwa semenit lalu ia dibawa ber-teleportasi dengan Onu.

“Disini dulu ya, lo aman kok disini. Ini kamar tamu di rumah gue, jangan kemana-mana sampai gue balik lagi ya. Serius, gue bukan orang jahat kok.” Onu menunjukan pose peace dengan senyum lebarnya.

“Bawa ponsel?” tanya Onu.

Sunghoon memeriksa sakunya, mengeluarkan benda pipih yang ditanyakan oleh Onu.

“Nah, sini pinjem bentar, nggak akan gue maling!” Onu mengambil ponsel Sunghoon, lantas menempelkan panel kecil di belakang ponsel milik Sunghoon, lalu mengembalikannya.

“Itu tadi panel hologram sinyal, sekaligus udah dimasukin nomor ponsel gue. Gue mau ke Akademi dulu, kalo ada apa-apa, bisa chat gue lewat ponsel lo, oke?”

Sejurus kemudian, Onu menghilang.

Menyisakan Sunghoon dengan banyak tanda tanya di kepalanya.