Downpour.


Highly recommended sambil dengerin DOWNPOUR Song by I.O.I


Dua pasang sepatu yang berhadapan di sebelah halte pemberhentian bus itu masih setia disana sejak lima belas menit lalu, setelah keduanya turun dari bus yang mereka tumpagi bersama, hingga kini keduanya harus berpisah di persimpangan jalan, menuju jalan rumah masing-masing.

Gerimis mulai turun, dua pasang mata mereka pun masih menatap nanar pada ujung sepatu masing-masing, tak ada satupun dari kedua pria itu- Sunoo dan Sunghoon- yang berani mengalihkan pandangannya dari sana, apalagi saling menatap.

Di kepala Sunghoon, terputar kembali rentetan kalimat panjang yang Sunoo ucapkan pada perdebatan terakhir mereka, dan berhasil membuatnya bungkam.

“Kak, Sunoo mohon... Lepasin Sunoo, ya? Kita nggak bisa lebih jauh lagi dari ini, karena dari awal, kita sama-sama tau kalau hubungan kita.. Memang salah. Ini yang bikin aku bertanya-tanya, kenapa harus kita, Kak? Kenapa kita dibuat saling mencinta kalau ternyata Tuhan dan semesta sama sekali nggak merestui? Tapi, seenggaknya, Kakak sempat dikasih waktu untuk bareng sama Sunoo selama 6 tahun ini, Kakak bahagia, kan?

Soalnya, sejak awal ketemu, aku bahagia banget, kita punya banyak kesamaan, salah satu kesamaan kita adalah... Kita sama-sama pria, yang kalau kata orang, hubungan kita melenceng dari hukum alam dan norma agama. Kita juga punya perbedaan, dan salah satu perbedaan itu adalah... Iman. Sunoo minta maaf ya, Kak? Sunoo rasa, udah cukup sampai disini aja, aku nggak mau ngambil Kakak dari Tuhan Kakak. Satu hal yang perlu Kakak tau, Sunoo masih sayang Kak Sunghoon.”

Suara Sunoo yang terngiang di kepalanya kini tergantikan oleh suara derasnya hujan yang mengguyur siang itu.

Ibu-ibu paruh baya yang berada di bangku halte sudah dua kali meneriaki dua pria yang masih bergeming dibawah air hujan untuk segera berteduh. Baik Sunghoon, maupun Sunoo, tak mengindahkan teguran itu, mereka membiarkan tubuhnya diguyur oleh dinginnya tangisan dari langit.

“Sunoo...” Sunghoon berucap lirih, lirih sekali, hingga mungkin semut semut yang berenang di kecipak genangan air hujan pun, tak mendengar lirihan parau itu.

Karena Sunoo tak kunjung memberi reaksi sekecil apapun, Sunghoon menegakkan kepalanya yang sedari tadi ia tahan untuk menunduk, matanya menatap kekasihnya yang basah kuyup, sama sepertinya. Dengan ragu, ia meraih tangan dingin Sunoo.

“Tangan kamu nggak pernah sedingin ini...”

Kecamuk badai yang melanda isi kepala dan hati Sunoo masih belum mereda, ia tidak sanggup untuk membalas atau sekedar merespon kalimat Sunghoon.

“Jangan sampai demam ya, karena setelah ini, aku nggak bisa jaga kamu lagi.”

Sunghoon menjeda kalimatnya untuk menghela napas dan tersenyum getir.

“Aku nggak bisa peluk kamu, nggak bisa suapin bubur hangat kesukaan kamu, nggak bisa bantu kamu minum obat kapsul, bahkan, untuk sekedar ketemu, aku nggak akan bisa, ya? Sekalipun aku nekat nyusul kamu ke luar kota, Mama kamu pasti bakal marah kalau lihat aku.”

Dengan bibir gemetar dan gigi bergemeletuk menahan dingin, Sunoo menarik kembali tangan yang masih setia Sunghoon genggam, lantas ia berucap lantang, memastikan suaranya bisa menembus tirai hujan, dan sampai pada telinga Sunghoon.

“Kak... Cukup.. Kalau Kak Sunghoon terus-terusan ngomong kayak gitu, justru bakal bikin kita makin susah untuk melepas satu sama lain.”

“Ya. Karena sejatinya, bukan itu yang kita mau.”

Sunoo tidak menanggapi, karena yang diucapkan Sunghoon, memang benar adanya.

Lagi-lagi, keheningan tak ada bosan-bosannya menyelimuti mereka. Yang lebih tua sibuk merangkai kata untuk diungkapkan (walau sebenarnya yang ingin ia lakukan sekarang adalah memeluk tubuh ringkih di depannya kemudian membawanya pulang dan bahagia bersama lagi), sedangkan yang lebih muda kembali menunduk, membiarkan air matanya yang sejak tadi mengalir, tertimpa oleh air hujan.

“Kita bodoh, ya.”

Celetuk Sunoo yang dengan segera memecahkan gelembung keheningan. Mata sayu mereka bertemu pandang. Dulu, setiap terjadi momen seperti ini, tak lebih dari 5 detik berpandangan, keduanya hanyut dalam tawa. Dan sekarang, tak ada lagi tawa yang berani meluap-luap walau kini sudah genap dua menit mereka berpandangan satu sama lain, sama-sama merasakan luka yang memancar dari kedua mata mereka.

“Kita, dua manusia egois” Sunghoon menimpali.

“Aku tahu,” Sunoo mendongak, menengadah pada langit, merasakan titik-titik air membombardir wajahnya, kemudian kembali menunduk.

“Jadi, kita.. Selesai?”

Sunghoon menggeleng ragu, “aku belum memutuskan untuk setuju, tentang ajakan ‘usai’mu, Sunoo.”

Dengan berat, Sunoo menghembuskan napas panjangnya. “Kak, aku tau, 6 tahun itu bukan waktu yang sebentar. 5 tahun lalu, setahun semenjak kita bertemu, aku dan Kakak, sama-sama terlanjur jatuh cinta pada rasa sakit, tapi... Kita justru memilih untuk menggenggam rasa sakit itu, menguburnya dalam-dalam, melupakan fakta bahwa hubungan kita... Salah. Dan sekarang, memang bukan waktu yang tepat untuk benar-benar berpisah, bukan kemauan kita untuk kembali pada jalan masing-masing, tapi karena kita harus, dipaksa oleh keadaan. Aku harap, Kakak paham, tolong lepasin Sunoo, ya?”

“Kamu mau mengulang kalimat yang sama itu untuk keberapa kalinya, Sunoo?”

“Sampai Kakak mau lepasin aku.”

“Tapi aku nggak bisa.”

Sunoo melangkah maju, ujung sepatunya bersentuhan dengan ujung sepatu milik Sunghoon, “aku boleh peluk nggak? Untuk terakhir kali?”

Tanpa menjawab pertanyaan Sunoo, Sunghoon langsung memeluk tubuh dingin itu. Dalam diam, Sunoo bisa merasakan detak jantung Sunghoon yang tenang dan menenangkan. Dalam diam pula, Sunghoon bisa merasakan sosok kecil dipelukannya itu terisak hebat.

Dalam pelukan itu, Sunghoon berbisik lirih.

“When this downpour finally stops, let’s see each other again, then we will smile, we will be together once more, and happy ever after. I promise.”


Tepat setelah hujan deras pada siang itu mereda, keduanya melangkah menuju gedung sepuluh tingkat yang ada dekat halte, sampai akhirnya mereka tiba di rooftop gedung itu. Kedua tangan mereka masih saling tertaut, mereka melangkahkan kakinya ke tepi rooftop tanpa pagar pembatas itu.

“Aku mau terbang,” ungkap Sunoo.

Mata kedua pria itu tak lepas dari kesibukan kota yang kelabu di bawah sana, sesekali mendongak pada burung, capung, kupu-kupu, dan hewan kecil lainnya yang beterbangan menyambut redanya hujan.

“Kak, kamu bisa terbang?”

“Nggak, tapi aku juga mau bisa terbang.”

“Terbang bareng, yuk?”

“Kita nggak punya sayap, Sunoo.”

“Ayam yang punya sayap aja nggak bisa terbang kok. Nah, kalau kita beda, kita nggak perlu punya sayap untuk bisa terbang. Tapi karena aku punya Kakak, dan Kakak punya aku, kita bisa jadi sayap untuk satu sama lain, kan?”

“Kamu, masih jadi milikku, ya?” Sunghoon memastikan.

“Ya. Maka dari itu, sebelum Sunoo udah nggak bisa jadi milik Kakak lagi, ayo terbang bareng?”

Sunghoon dan Sunoo bertatapan, saling melempar senyum penuh arti.

Mereka tahu persis dengan apa tujuan mereka berdiri di pinggiran atap gedung ini, pancaran kedua mata mereka tak lagi menyiratkan luka, hanya ada sinar kebahagiaan disana.

“Sunoo, pegang tanganku, ya. Kita akan terbang, mengarungi angkasa, selamanya. Kamu siap?”

“Kemanapun, asal bareng kamu, aku siap.” Sunoo mengangguk mantap.

Senyum hangat terukir indah di bibir keduanya. Dengan sebelah tangan yang masih tertaut, mereka mengepakkan bagian tangan lainnya.

Mereka terbang bersama.

Mereka bahagia.

Janji yang Sunghoon ucapkan beberapa menit lalu, berhasil ia tepati, bersama kekasih sehidup sematinya, Kim Sunoo.